Trading vs Investing: Pengalaman dan Pendapat Saya

Halo, saya ETS, pemilik dari blog Stoxets.com dan kali ini saya ingin membahas: trading vs investing. Dua hal yang paling sering diperdebatkan oleh para pelaku pasar saham ritel (non-institusi) dimana-mana. Dimana, pastinya, saya juga akan membahas pengalaman dan pendapat saya mengenai keduanya.

Saya berharap post ini, untuk yang baru ingin masuk ke pasar saham tetapi tidak tahu mau pilih trading atau long term investing, bisa membantu menentukan pilihan kalian.

Tetapi, sebelumnya, saya ingin mendefinisikan trading sebagai aktifitas jual/beli saham yang dilakukan dalam jangka yang pendek (dalam hitungan menit/jam/harian/mingguan), sedangkan long term investing, akan saya singkat sebagai “investing”, sebagai aktifitas jual/beli saham yang dilakukan dalam jangka yang lebih panjang (bulanan/tahunan/bahkan puluhan tahun).

Tetapi juga, sebenarnya, menurut KBBI, investasi (“investing” dalam Bahasa Inggris) adalah aktifitas “penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan”.

Sedangkan trading sendiri berarti perdagangan, yang berasal dari kata ”dagang”, menurut KBBI juga, adalah aktifitas “pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan”.

Intinya apa? Trading itu suatu bentuk investasi juga dan investing pasti ada aktifitas trading-nya juga. Yang membedakan hanya jangka waktu.

Oke, kita mulai bahas trading vs investing, yah…

Eh, lupa…Sebelum kita lanjut, saya mau mengulang apa yang sudah saya bilang dari awal saya memulai blog ini. Cara saya menulis angka menggunakan sistem US/UK, bukan Belanda/Indonesia. Contoh: 1 juta saya tulis 1,000,000; bukan 1.000.000. Untuk desimal saya tulis 1.5; bukan 1,5. Jangan bingung, ya.

Okeee, lanjuuut!

Trading

Seperti yang pernah saya sebutkan di post terdahulu, saya mulai trading di tahun 2017. Tidak lama setelah saya menikah di pertengahan 2016. Sebenarnya, saya sudah ingin masuk ke pasar saham jauh sebelum itu, tetapi selalu saya tunda-tunda dengan alasan “belum cukup ilmunya”. Tetapi, sepertinya setelah saya menikah baru ada pemicunya…hehehe.

Jadi dari tahun 2008 – awal 2020, Indonesia sebenarnya ada di bull market terpanjang dalam sejarah bangsa kita ini.

Bagi yang belum familiar dengan istilah “bull market”, itu adalah kondisi pasar saham dimana harga IHSG naik 20%, setelah sebelumnya terkoreksi/turun 20%, dan terus naik selama berbulan-bulan/bertahun-tahun sampai terkoreksi 20% lagi.

Selama 11 tahun, IHSG naik 489%. Dari Januari 2017 – Januari 2020, IHSG tumbuh kira-kira sebesar 20%, jauh lebih besar dari inflasi rata-rata di 3.2% dalam rentang waktu yang sama.

Gambar 1. Bull market IHSG 2008 – 2019

Saya sendiri dalam 1 – 2 minggu pertama trading, portofolio saya naik 10%. Sebulan pertama, portofolio saya jadi naik 8%. Beginner’s luck atau memang jago? Saya langsung berangan-angan, kalau begini terus saya bisa mendobelkan uang saya setiap tahunnya, dan dalam 4 tahun saya bisa menghasilkan profit hampir Rp 1M hanya dari trading!

Bagaimana sekarang? Apa saya, yang pekerja kantoran ini, sudah kaya raya dari trading dan sudah dalam perjalanan untuk mendapatkan profit Rp 1M yang saya angankan 3 tahun lalu? Ini hasil trading saya dari 2017 sampai Agustus 2020:

Gambar 2. Hasil trading saya setelah 3 tahun


Ini 2 screenshot berbeda yang saya satukan, di tengah-tengah seharusnya ada detail transaksi saya selama ini satu per satu tetapi tidak saya masukan karena terlalu banyak.

Ya, jadi dari tahun 2017 sampai sekarang, hasil trading saya minus Rp. 9 juta. Itu rugi yang sudah terealisasikan. Saya sepertinya pernah menyebutkan, saya masih nyangkut di BSDE (Bumi Serpong Damai Tbk) yang saat ini turun 45.73% sejak saya beli di Januari 2020.

Kalau BSDE saya jual, total portofolio saya akan minus 76%. Boro-boro mau profit Rp 1M, dana saya akan hanya tinggal setengahnya dalam 3 tahun!

Tetapi, setelah 3 tahun ini, saya jadi tahu kesalahan-kesalahan saya dimana saja (ada banyak banget…hehehe), dan saya ingin list down kesalahan-kesalahan saya yang, menurut saya, paling fatal supaya kalian yang baru mulai masuk ke pasar saham, dan masih memikirkan trading vs investing, tidak melakukannya.

My trading mistakes

  • Tidak berani cut loss dan melakukan averaging down dalam trading

Salah satu tes terbesar dalam trading adalah bagaimana kita mengendalikan emosi kita saat merugi.

Tidak lama setelah portofolio saya naik 12.5% dalam beberapa bulan, saya dihadapkan pada situasi dimana saya ada posisi besar yang sedang merugi. SSIA (Surya Semesta Internusa Tbk. – perusahaan properti dan perhotelan) nama perusahaannya.

Saya beli dengan 75% dana saya di Rp. 690 di 2017. Mulai turun 4%, apa yang saya lakukan? Saya average down (menambah posisi saham saat harga turun untuk merendahkan harga saham rata-ratanya). Harga saham mulai naik, saya jadi merugi “di atas kertas” hanya 2%, jadi pikir “wah, mulai naik nih…”. Jadi apa yang saya lakukan? Average down lagi. Apa yang terjadi lagi? Turun lagi, kali ini posisi saya merugi 10%!

Setelah 6 bulan saya begini, saya jual setengah posisi saya dengan total kerugian di 23% karena saya butuh uang kas untuk beli saham-saham lain.

Sisa setengahnya? Saya jual pelan-pelan dalam 2 tahun ke depan. Lalu saya melakukan full exit dari SSIA di 2019 saat harga sempat naik dari harga rata-rata terakhir saya, dengan kerugian total di 17.5% dari total dana trading saya.

Selain itu, saya juga melakukan kesalahan kesalahan seperti ini di saham-saham lain dalam rentang 2017 – 2019 setelah saya menjual setengah posisi SSIA saya.

Dimana saya salah: Pertama, tidak melakukan position sizing, tapi ini akan saya bahas nanti setelah ini. Kedua, tidak berani cut loss dengan harapan harga akan berbalik arah. Setelah saya rugi 4%, saya dikasih kesempatan untuk hanya rugi 2%, itu pun tidak saya ambil! Ketiga, dalam trading tidak boleh sama sekali averaging down, hanya boleh averaging up (kebalikannya, dimana kita menambah posisi saat harga bergerak naik).

Balik lagi ke saya sempat rugi 4%, buat apa saya averaging down dan mengurangkan rugi saya jadi hanya 2% kalau tidak saya ambil? Bodoh sekali saya…

Apa yang seharusnya saya lakukan: Tentukan berapa persen kerugian yang saya berani terima, lalu gunakan fitur Automatic Trading Machine dari IndoPremier untuk secara otomatis menjual posisi saya bila persentase kerugian yang saya tentukan kena.

Dengan ini saya menihilkan faktor emosi dari proses cut loss ini. Juga, jangan pernah averaging down dalam trading!

  • Tidak melakukan position sizing

Mengambil kasus di atas, total saya ambil posisi di SSIA di 93% dari total dana saya karena saya averaging down berkali-kali.

Dimana saya salah: Pertama, dari awal saya mengambil posisi terlalu besar, di 75% dari total dana saya. Kedua, bodohnya, saya tambah lagi posisi itu ke total 93% dari total dana saya.

Apa yang seharusnya saya lakukan: Saya harus punya aturan untuk diri sendiri dimana saya melakukan position sizing dalam trading untuk meminimalisir resiko.

Jadi, setiap kita ambil posisi dalam satu saham, kita hanya boleh masuk dengan maksimal 30% dari total dana kita. Itupun, kita hanya boleh ambil posisi pertama kali dengan 33% dari 30% total dana kita (jadi kurang lebih 10% dari total dana kita) dan kita tingkatkan posisi kita seiring dengan meningkatnya harga saham itu sampai posisi kita sudah 30% dari total dana.

Contohnya: Kita punya total dana trading Rp 12juta, berarti, setiap kita pasang posisi (beli) di satu saham (anggap saham ABCD), maksimal kita hanya boleh memiliki saham ABCD total senilai Rp 4juta (30% dari 12juta). Nah, saat kita mau beli pertama kali, kita hanya boleh beli harga saham ABCD senilai Rp 1.32juta saja (33% dari 4juta).

Kenapa? Karena kalau saham turun, anggaplah, 10%, kita hanya rugi Rp 132ribu. Coba kalau kita langsung masuk dengan Rp 4juta, kita langsung rugi Rp 400ribu, kan?

Lalu, setiap saham naik beberapa poin, kita tambah 33% lagi. Naik lagi, tambah lagi 33% sampai maksimal kita memiliki total saham ABCD senilai Rp 4juta.

Ini contoh dari position sizing. Berapa persentasenya sebenarnya terserah kalian. Tetapi yang jelas, bila kalian adalah, atau mau jadi, 100% trader, kalian wajib melakukan positiong sizing. Jangan bodoh seperti saya.

  • Terlalu banyak indikator

Ini juga kesalahan saya di awal-awal. Terlalu banyak memakai indikator-indikator dan terlalu mencari-cari pola pergerakan harga saham.

Dimana saya salah: Sebelum beli/jual suatu saham, saya akan lihat indikator-indikator ini: Moving Average (MA) 10, MA 20, MA 30, MA 50, MA 100, MA 200, Stochastic, MACD, Volume MA, Bollinger Bands, RSI, Darvas Box, dll dsb. Pusing, gak? Saya juga pusing.

Permasalahannya adalah, belum tentu indikator-indikator ini semua memberi sinyal yang sama. Hal ini, ditambah kesalahan-kesalahan di atas, hanya akan memberikan kerugian besar.

Apa yang seharusnya saya lakukan: Pilih tiga indikator-indikator yang paling kita kuasai dan lupakan yang lain.

Saya sendiri sekarang hanya menggunakan MA, Stochastic, dan Volume MA. Sudah.

Saya juga lihat pola pergerakan harga saham di semua time frame (jangka waktu) saham tersebut (harian, mingguan, bulanan; bila harga sepertinya akan naik di ketiga jangka waktu saham tersebut, maka kemungkinan besar harga benar-benar akan naik).

Bahkan, ada komunitas trading di US yang tidak lihat indikator sama sekali. Hanya pola harga saham.

  • Tidak punya trading plan (strategi trading) dan trading journal (jurnal trading)

Waktu awal-awal saya mulai, saya tidak punya trading plan. Saya lihat saham yang menurut saya bagus, langsung saya beli saja tanpa ada strategi yang jelas.

Lalu setelah saya belajar mengenai trading plan, saya coba punya suatu strategi. Tetapi setiap saya rugi, saya akan berpikir bahwa trading plan yang saya pakai tidak bekerja sama sekali dan saya akan langsung Google atau YouTube ide-ide untuk strategi lain. Lalu, saya akan coba strategi yang saya baru dapat itu, dan bila gagal juga saya akan cari lagi strategi yang baru.

Juga, dulu saya tidak pernah mencatat detil setiap aktifitas trading saya sama sekali dalam sebuah trading journal. Akhirnya, saya memiliki puluhan trading plan “gagal” tetapi saya tidak tahu kenapa mereka bisa gagal. Jadi, apapun keputusan kalian setelah membaca pendapat dan pengalaman saya mengenai trading vs investing ini, memiliki catatan aktifitas trading/investing kalian dalam sebuah jurnal itu penting.

Dimana saya salah:  Saat saya melakukan transaksi (jual/beli) di pasar saham, saya tidak pernah mencatat detilnya. Lalu, setiap saya mencoba satu strategi, bila itu memberikan kerugian, saya langsung cari strategi baru. Tanpa saya tahu kenapa strategi tersebut bisa gagal. Padahal trader lain bisa menggunakan trading plan yang sama dan berhasil.

Apa yang seharusnya saya lakukan: Bila kita ingin trading, kita harus punya trading plan yang berisi kriteria-kriteria saham seperti apa yang kita mau, dalam kondisi seperti apa kita akan ambil posisi di saham tersebut, berapa banyak kita mau ambil posisi, apa yang akan kita lakukan bila mulai rugi, berapa banyak kita siap rugi, kapan kita mau jual, dan berapa kita bisa profit. Ini semua harus kita tentukan di awal dan ikuti dengan disiplin.

Lalu, setiap kita melakukan transaksi (jual/beli), kita harus catat secara detail transaksi kita tersebut di sebuah trading journal. Detil-detil berdasarkan kriteria-kriteria di atas, maupun detil-detil lain seperti pola harga saham, dimana ada support (zona psikologis dimana harga saham akan berhenti turun) dan resistance (zona psikologis dimana harga saham akan berhenti naik), waktu/jam dilakukannya transaksi, berapa harga yang kita beli, berapa harga saat kita jual, dll.

Tujuannya apa? Supaya saat kita profit, kita bisa tahu kenapa kita bisa profit. Juga saat kita rugi, kenapa kita bisa rugi. Kalau ini dilakukan, baru kita bisa sesuaikan strategi kita dari data yang kita punya.

Contoh trading plan saya saat ini:

  1. Saya hanya trading saham-saham yang saya investasikan untuk jangka panjang*.
  2. Saya juga hanya menggunakan indikator MA, Stochastic, dan Volume MA.
  3. Lalu saya juga hanya ambil posisi bila daily chart dan weekly chart dua-duanya dalam posisi akan naik.
  4. Maksimal per posisi 50% dari dana trading, boleh masuk langsung 50% bila yakin daily chart dan weekly chart akan naik. Bila tidak yakin, hanya boleh masuk 25% lalu tambah 25% lagi bila memang naik*.
  5. Take Profit (TP; ambil profit) di resistance terdekat.
  6. Cut Loss (CL; batasan kerugian) di support terdekat atau harga terendah saham hari sebelumnya, tergantung mana yang lebih jauh.
Gambar 3. Contoh trading journal saya

Gambar di atas adalah contoh trading journal saya. Itu hanya contoh ya, silahkan masukan detil-detil yang menurut kalian sesuai. Trading vs investing, apa pun pilihan kalian, harus ada catatan seperti ini.

*Saya sekarang setiap ambil posisi untuk trading berani langsung 50%, karena apa? Karena saya hanya trading perusahaan-perusahaan yang saham-sahamnya saya investasikan untuk jangka panjang di akun broker saya yang lain. Jadi kalau pun “nyangkut”, fundamental perusahaan-perusahaan ini bagus, jadi saya tahu harganya pasti akan naik. Lagi pula, dana trading saya tidak sebesar dana investasi saya.

  • Terlalu fokus pada nominal bukan persentase

Dulu saya mulai trading bersamaan dengan teman satu kantor, kita suka saling bertukar ide, dan setiap saya ngobrol dengan dia kadang saya suka mikir “kok dia bisa untung di saham A sebesar Rp. 10 juta, saya saja “hanya” Rp. 1.5 juta?”

Dimana saya salah: Itu pola pikir yang salah. Kita akan menjadi iri dan nanti malah ingin mengikuti strategi teman kita yang bisa profit Rp. 10 juta itu. Padahal kita sendiri tidak tahu bagaimana situasi teman kita itu sampai dia bisa profit Rp 10 juta.

Apa yang seharusnya saya lakukan: Kalau itu terjadi, coba tanya sama dia “Rp 10 juta itu berapa persen dari posisi, bro?” Saya tanya itu dan dia jawab “20%, bro” (dia masuk di saham A dengan Rp 50 juta). Sedangkan saya profit Rp. 1.5 juta itu 50% dari posisi (saya masuk ke saham A dengan Rp 3juta).

Dari situ kita tahu, kalau strategi kita lebih bagus karena kita bisa punya persentase profit yang lebih besar.

Apa yang harus kita lakukan setelah ini adalah teruskan menggunakan strategi kita, jadi saat dana kita lebih besar, persentase kita yang lebih besar bisa memberikan hasil yang lebih besar juga.

Investing

Setelah membahas hal-hal mengenai trading di atas, sekarang kita akan membahas mengenai investing. Atau long-term investing, lebih tepatnya.

Kalau kita membahas trading vs investing, saat kita bahas bagian investing-nya, kita tidak akan membahas banyak seperti kita membahas seperti soal trading sebelumnya. Mengapa demikian?

  1. Karena saya belum lama berinvestasi untuk jangka panjang.
  2. Karena investasi jangka panjang bagi saya tidak stressful seperti trading.

Dari pengalaman saya, investing lebih “simpel” dan jauh lebih sedikit emotional roller-coaster (naik turunnya emosi) yang kita hadapi. Contohnya: seperti yang pernah saya bahas di post sebelumnya, saya beli saham MERK di Mei 2020, dalam 2 bulan sudah naik 113%, lalu turun lagi dan sekarang ada di 30.62%. Berarti turun 100% lebih dari potensi profit saya beberapa bulan lalu kalau saya langsung jual saat itu.

Saya menyesal, kah? Tidak sama sekali.

Kenapa? Karena dari awal niat saya memang untuk investasi di MERK jangka panjang, dimana dari PBV historis MERK ada kemungkinan naik 265%, jadi pergerakan saham harian seperti ini tidak saya gubris.

Dalam investing kita tidak perlu melihat harga saham setiap hari. Untuk apa? Cukup 3 bulan sekali, 6 bulan sekali, ataupun 1 tahun sekali.

Jadi saat ada laporan keuangan terbaru perusahaan yang kita investasikan keluar, baru kita lihat lagi harga sahamnya.

Kalaupun kita suka lihat harga saham setiap hari, kita tidak akan pusing karena kita melihat perusahaannya, dan kita tahu uang kita ada di perusahaan bagus dengan rekam jejak bagus selama bertahun-tahun kebelakang. Pergerakan harga harian itu tidak relevan.

Saya ilustrasikan di bawah dengan perusahaan bagus bernama PT. Ekadharma International Tbk. (EKAD).

Gambar 4. Pergerakan bulanan harga saham EKAD dari 2015 – 2020. Cukup stabil, kan?
Gambar 5. Pergerakan mingguan harga saham EKAD dari 2015 – 2020. Lebih bergejolak, kan?
Gambar 6. Pergerakan harian harga saham EKAD dari 2015 – 2020. Lebih berantakan lagi, kan?

Dari gambar-gambar itulah alasan saya bilang pergerakan harga harian tidak relevan kalau kita ingin investasi jangka panjang. Dalam trading vs investing, pergerakan harian tidak penting.

Nah, kita kan sudah membahas kesalahan-kesalahan saya dalam trading di atas tadi. Coba kita lihat itu semua dalam “kacamata” seorang long term investor:

  • Cut loss dan averaging down
    Bila kita membeli perusahaan bagus di harga murah dan harganya masih turun lagi, bagi seorang investor justru kita akan beli lebih banyak (bila dananya ada, yah…hehehe). Buat apa cut loss? Justru kita harus averaging down bila itu terjadi.
  • Position sizing
    Tidak perlu. Bila kita ketemu perusahaan yang amat bagus dengan harga murah, masukin saja semua dana kita di sana.

    Tetapi bila kita ada beberapa perusahaan yang amat bagus dengan harga yang murah-murah, itu lain soal. Itu kita bicara soal diversifikasi.

    Kalau saya sendiri sejauh ini menentukan berapa persen ke saham A, berapa ke B, berapa ke C, tergantung dari potensi kenaikan masing-masing saham. Semakin besar potensinya, semakin besar persentase alokasi saya ke sana.
  • Terlalu banyak indikator
    Hah? Apa itu? (hehehe….)
  • Trading plan dan trading journal
    Trading plan mungkin tidak perlu, tetapi sebenarnya tetap harus punya kriteria-kriteria perusahaan yang mau kita investasikan. Contohnya ada di post saya sebelumnya.

    Nah, kalau investing journal itu tetap penting. Mungkin bukan untuk kita catat segala data saat kita beli saham tersebut, tetapi lebih untuk melacak pergerakan portofolio saham-saham kita.

    Juga saat kita lihat balik 1/2/5 tahun kemudian, kita bisa ingat jalan pikiran kita seperti apa saat kita beli saham-saham itu dulu. Yaah, sebagaimana fungsi sebuah jurnal pada umumnya saja.
  • Fokus pada persentase
    Dari semua, ini mungkin yang saya tetap setuju. Karena kita menghitung imbal balik hasil investasi kita dari tahun ke tahun dalam persentase dan ini kita bandingkan dengan imbal balik tahunan IHSG. Bila persentase kenaikan investasi kita lebih besar dari IHSG di suatu tahun, maka di tahun itu kita telah berhasil sebagai seorang investor.

    Artinya, we have achieved alpha. (“alpha” dalam dunia finansial berarti kita telah mengalahkan pasar, dalam hal ini IHSG. Ini target kesuksesan setiap investor/trader).

    Karena hal itu, jumlah nominal merupakan hal kedua yang harus kita pikirkan.

Trading vs Investing – Kesimpulan

Oke, mungkin itu saja yang mau saya bicarakan soal trading vs investing.

Tambahan saja, meski memang menurut saya trading itu lebih ribet dari investing, tetapi saya sendiri masih melakukan dua-duanya, meski dana investasi saya lebih besar dari dana trading saya.

Kenapa masih trading? Saya lihatnya ini bisa jadi suatu cara untuk merealisasi profit dari saham yang kita juga investasikan secara jangka panjang. Masing-masing orang punya caranya sendiri untuk mencapai alpha.

Tetapi, saya hanya ingin mengingatkan lagi, apapun pilihan kalian, selalu riset terlebih dahulu sebelum membeli saham.

Salam investasi,

ETS

Stoxets.com

Disclaimer/Peringatan: Kami bukan perencana keuangan, pialang saham, maupun penasihat investasi. Stoxets.com murni berfungsi sebagai blog untuk berbagi pengalaman dan pendapat kami dalam berinvestasi di berbagai jenis aset (terutama pasar saham), tidak menyarankan siapapun untuk membeli/menjual suatu jenis aset maupun saham tertentu, dan tidak akan bertanggung jawab atas siapapun yang mengalami kerugian, maupun keuntungan, uang dalam berinvestasi dimanapun setelah membaca blog ini. Investasi apapun beresiko. Lakukan riset kalian sendiri. Uang kalian, tanggung jawab kalian.

Support This Blog

Kalau kalian ingin mendukung / support blog saya, kalian bisa klik iklan-iklan yang ada di blog saya ini…

atau kalian juga bisa membeli buku-buku rekomendasi saya di bawah ini melalui tautan / link afiliasi yang saya berikan. Semua buku yang saya rekomendasikan akan saya review terlebih dahulu, kalau tidak bagus tidak akan saya rekomendasikan untuk dibeli (meski tetap akan saya review). Program afiliasi ini tidak menjadikan harga buku lebih mahal, saya hanya mendapatkan komisi dari si penjualnya saja:

Buku untuk investor saham pemula

Who Wants to be a Smiling Investor – Lukas Setia Atmaja & Thomdean: Gramedia / Tokopedia

Value Investing: Beat the Market in Five Minutes – Teguh Hidayat: Gramedia / Tokopedia

Cara Mudah Memahami Laporan Keuangan – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Learn to Earn – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Buku untuk investor saham yang lebih berpengalaman

Warren Buffett and the Interpretation of Financial Statements – Mary Buffett & David Clark: Tokopedia

One Up on Wall Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Beating the Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. I – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. II – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Buku untuk investor saham tingkat jendral bintang lima & pendekar silat sabuk merah

The Intelligent Investor – Benjamin Graham: Gramedia / Tokopedia

Dan masih banyak lagi!

Tolong bagikan artikel ini:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoying this blog? Tolong bagikan, ya! :)

Exit mobile version