Investasi Saham: Jangka Panjang vs Jangka Pendek

Halo, saya ETS, pemilik dari blog Stoxets.com dan kali ini saya ingin membahas investasi saham: jangka panjang vs jangka pendek.

Di sini yang akan saya bahas bukan trading vs investing, itu sudah saya bahas di sini. Yang ingin saya bahas murni investasi saham, tetapi dari sisi jangka waktu kepemilikan saham tersebut.

Baiknya saya definisikan terlebih dahulu “investasi saham” yang saya maksud. Tetapi, sebelum kita lanjut, saya mau mengulang apa yang saya sudah bilang dari awal saya memulai blog ini mengenai cara saya menulis angka menggunakan sistem US/UK, bukan Belanda/Indonesia. Contoh: 1 juta saya tulis 1,000,000; bukan 1.000.000. Untuk desimal saya tulis 1.5; bukan 1,5. Jangan bingung, ya.

Definisi “investasi saham”

Seperti yang pernah saya sebutkan di post mengenai trading vs investing, menurut KBBI, investasi adalah aktifitas “penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan”.

Dengan demikian, “investasi saham” berarti penanaman uang/modal dengan membeli saham/kepemilikan di suatu perusahaan. Baik perusahaan publik maupun non publik.

Tetapi, karena kita membahas saham yang bisa kita semua beli, di sini saya membahas perusahaan publik pastinya.

Nah, saat saya bilang “investasi saham jangka panjang” atau “investasi saham jangka pendek”, maksud saya adalah kita sama-sama menanamkan uang/modal kita di suatu perusahaan publik, tetapi keuntungan/profitnya kita realisasikan/jual di jangka waktu yang berbeda.

Investasi saham jangka panjang

Saya mendefinisikan “investasi saham jangka panjang” di sini adalah paling tidak 3 – 5 tahun. Paling lama?…bisa selamanya.

Warren Buffett, value investor paling sukses di dunia, bilang “if you don’t feel comfortable owning a stock for 10 years, you shouldn’t own it for 10 minutes”. (“Kalau kamu tidak nyaman dalam memiliki sebuah saham untuk 10 tahun, jangan coba memilikinya untuk 10 menit”).

Beliau juga bilang “Our favorite stock holding period is forever”. (“Jangka waktu kepemilikan saham favorit kami adalah selamanya”). Bahkan, di tahun 2019 lalu, rata-rata jangka waktu kepemilikan Warren Buffett di sepuluh saham-saham terbesarnya adalah 7.5 tahun dan dari sana ada tiga saham-saham yang sudah beliau miliki selama kurang lebih 25 tahun!

Salah satu keuntungan Warren Buffett-nya Indonesia, pak Lo Kheng Hong, didapat dari PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI), dengan persentase profit yang fantastis: 12,500%! Beliau, membeli saham ini di 2005, lalu menjualnya enam tahun kemudian di 2011.

Seorang dokter di Amerika, Dr. Herbert Wertheim, bahkan telah menggandakan investasi $5 jutanya menjadi $800 juta dari investasinya di saham perusahaan suku cadang pesawat terbang yang beliau beli di tahun 1992.

Lima tahun atau lebih? Lama ya? Jelas. Karena itu saya tidak menyarankan:

  1. Berinvestasi menggunakan dana darurat atau dana yang akan dipakai dalam jangka waktu kurang dari 5 tahun ke depan.
  1. Berinvestasi menggunakan dana pinjaman. (Jangan pernah melakukan ini!)

Oke, itu semua jelas. Banyak yang sukses dengan menahan kepemilikan sahamnya dalam jangka waktu lama juga jelas. Tapi pasti ada untung ada juga ruginya, dong? Siap, mari kita bahas.

Pros

  • Tidak pusing untuk “timing the market

Dengan investasi saham jangka panjang, kita tidak perlu “timing the market” (dimana seorang investor menentukan waktu kapan dia masuk ke pasar saham dan kapan dia harus keluar dari pasar saham). Biasanya dilakukan dengan menebak-nebak kapan harga pasar/saham sudah di dasar (bottom price) dan kapan harga sudah terlalu mahal sehingga akan terjadi koreksi.

Kenapa di investasi saham jangka panjang ini tidak perlu kita lakukan? Karena itu tidak relevan. Apapun kondisi pasar saham saat ini, kalau memang perusahaan yang kita incar harganya sedang murah, ya kita beli. Memang, secara jumlah, kalau pasar sedang turun pasti akan banyak perusahaan yang harganya sedang murah.

Tetapi, perusahaan yang sedang murah bisa ditemukan di kondisi pasar seperti apapun. Plus, dengan tidak timing the market, kita tidak perlu pusing dan stres lihat harga saham naik dan turun setiap hari/minggu.

Lagipula, tahu dari mana kita saham akan bergerak seperti apa dalam 1 – 2 tahun ke depan? Kalau yang kita beli adalah perusahaan bagus dengan harga murah, memang pasti akan ke atas pada akhirnya, tapi tahu dari mana kita perusahaan itu akan ke atas dalam 1 – 2 tahun ke depan?

Saya kasih contoh:

Gambar grafik saham BBRI dari tahun 2004 - 2020 yang naik sekitar 4,600%. Investasi saham jangka panjang tidak perlu "timing the market". Pilih saham bagus dengan harga murah, lalu tunggu saja.
Gambar 1. Grafik saham BBRI

Dari 2004 – 2007, saham BBRI naik 230%, atau sekitar 77% per tahun(!). Nah, anggap saya di awal 2004 di harga Rp 95/lembar saham. Lalu di kuartal terakhir 2007, setelah saham ini naik 230% (nomor 1), saya dengar ada resesi di Amerika. Karena saya suka timing the market,jadi saya jual semua saham saya.

Ternyata benar, saham turun terus selama satu tahun ke depan sampai akhir 2008 (nomor 2). Nah, kalau saja saya tidak jual kepemilikan BBRI saya di 2007, kenaikan saham saya di awal 2020 (nomor 3) sudah 4,600%!

Betul, memang kita bisa saja masuk di akhir 2008, dan tetap di awal 2020 kenaikan saham kita bisa sampai 1,200%. Tapi:

  1. Tahu dari mana kita saham BBRI tidak akan turun lagi di 2009/2010/2011?
  1. 4,600% dan 1,200% besaran mana?

Kalau memang kita tujuan investasinya jangka panjang, kita tidak timing the market, kita tahu meskipun harga saham BBRI sedang turun tapi itu tetap perusahaan dengan fundamental bagus, dan masih bayar dividen setiap tahunnya lagi. Kenapa kita harus jual?

  • Potensi keuntungan yang maksimal dengan tenaga minimal

Balik ke poin di atas ini. Kita bisa investasikan uang kita di BBRI di tahun 2004, jangan di jual sekalipun. Tanpa cek harga saham setiap hari. Saham kita bisa naik 4,600%! Kita hanya perlu kerja 1x saja di tahun 2004 saat kita melakukan riset untuk memastikan kenapa kita mau investasi di saham BBRI. Sudah.

Atau kita bisa juga “kerja” dengan cek harga sahamnya setahun sekali. Misal, sekitar bulan Februari/Maret tiap tahunnya saat Laporan Tahunan BBRI keluar.

Lihat tabel di bawah ini:

Gambar tabel harga-harga saham terendah BBRI di bulan Februari setiap tahun dari 2004 - 2020. Dalam investasi saham jangka panjang, kita cukup cek harga saham setahun sekali, pun, tidak apa-apa.
Gambar 2. Tabel harga saham terendah BBRI

Bila kita investasi saham dengan pandangan jangka panjang, kita bisa hanya cek harga dan performa bisnis BBRI setahun sekali di bulan Februari, dan tetap bisa lihat harganya naik setiap tahunnya kecuali di 2009 dan 2016. Kasarnya kita ”kerja” untuk saham ini benar-benar hanya setahun sekali.

  • Bisa mengalahkan performa investor institusi (“bandar”)

Di sini disebutkan, kalau portofolio investor ritel Amerika, dari awal menurunnya pasar saham di sana sampai sekarang, sudah naik 61%, dibandingkan dengan investor institusi (para “bandar” disebutnya kalau di Indonesia).

Kok bisa? Sebenarnya memang demikian. Kenapa? Karena “pergerakan” investor institusi tidak bisa “luwes” seperti investor ritel. Semakin besar institusinya, semakin kaku “gerakan” mereka.

Mereka tidak bisa masuk ke sembarang saham yang ada di IHSG, hanya LQ45 atau Kompas100 saja paling yang mereka bisa beli sahamnya. Kenapa? Karena investor institusi memegang mandat untuk menjaga dan melipatgandakan dana nasabah mereka, yang harus bisa dicairkan kapan pun dan harus bisa untung. Yaa, pilihan mereka terbatas, kan? Jadi mayoritas dana nasabah mereka harus lah di perusahaan-perusahaan yang likuid dengan performa bisnis stabil.

Kemarin kasus Jouska, yang saya bahas di sini, banyak yang memaki-maki karena dana nasabah banyak yang mereka masukan ke saham yang tidak likuid (saham LUCK). Ini fakta yang terjadi di seluruh dunia. Kok, manajemen Jouska bisa tidak tahu itu aneh. (Memang sebenarnya ada tuduhan insider trading atau permainan “orang dalam”.)

Lalu, investor institusi juga harus menyebar investasinya di banyak saham, tidak bisa di 1 – 2 saham saja. Ini dilakukan untuk meminimalisirkan rata-rata kerugian mereka bila kondisi pasar sedang turun. Tetapi sebaliknya, bila ada saham yang mereka pegang naik 100% dan saham satunya lagi turun 80%, rata-rata kenaikannya “hanya” 20% (asumsi nilai kepemilikan sama).

Kita, investor ritel, bisa aja memiliki performa kenaikan saham yang kita miliki di 4,600% (lihat contoh BBRI saya di atas). Bila sahamnya kita pegang selama 16 tahun. Tapi coba tidak selama itu, deh. Anggap 5 tahun kebelakang saja, dari Januari 2015 – 2020, saham BBRI naik 90% selama 5 tahun.

Kalau saya bandingkan dengan data dari situs Bareksa, untuk produk reksadana saham di semua jumlah dana kelolaan, yang total berjumlah 315 produk reksadana. Produk reksa dana dengan performa tertinggi selama 5 tahun kebelakang, itu “hanya” di 84%. Masih kalah 6% dari saham BBRI. 6% sendiri itu sudah lebih tinggi dari rata-rata inflasi 10 tahunnya Indonesia.

(Meski menurut saya untuk reksa dana, kenaikan 84% itu sudah fantastis.)

Gambar tampilan produk-produk reksa dana di situs Bareksa.
Gambar 3. Produk-produk reksa dana saham dengan performa 5 tahun kebelakang
  • Total pajak yang dibayar lebih sedikit

Anggap ada 2 investor, si A dan B. Ini untuk ilustrasi saja, ya.

A membeli saham seharga Rp 10 juta, dia tahan selama 10 tahun, dan saham dia jual setelah naik 235% ke Rp 23.5 juta.

B membeli saham seharga Rp 10 juta, dia paling suka timing the market dan kebetulan dia jago soal ini, jadi setiap tahun kalau sudah naik 10% dia akan jual dan melakukan hal yang sama ke saham berikutnya. Dia lakukan ini sama dengan A, yaitu selama 10 tahun, dengan keuntungan sama, naik 235% ke Rp 23.5 juta.

Pajak penjualan saham adalah: 0.1% dari nilai bruto penjualan.

Sekarang lihat ilustrasi sederhana di bawah:

Gambar ilustrasi nilai pajak penjualan investasi saham. Dalam investasi saham jangka panjang, pajak yang di bayar akan lebih sedikit dibanding investasi jangka pendek.
Gambar 4. Ilustrasi nilai pajak penjualan investasi saham

Dengan imbal hasil yang sama, bila cara investasinya keluar-masuk saham baru setiap tahunnya selama 10 tahun, kita bisa membayar pajak 6x lebih banyak(!) daripada kalau kita hanya tahan satu saham bagus dan jual setelah 10 tahun.

Cons

  • Uang/modal yang tertahan bisa mengakibatkan adanya “loss of opportunity cost

Loss of opportunity cost” adalah “biaya” yang kita “bayarkan” karena kehilangan kesempatan yang dikarenakan uang/modal kita tertahan di suatu saham, jadi kita tidak bisa investasi di saham lain. (Asumsi modal kita terbatas).

Tetapi banyak orang yang peduli dengan hal ini, karena itu mereka tidak bisa berinvestasi menunggu 5 – 10 tahun dulu baru menjual sahamnya. Begitu mereka rugi/sudah untung sedikit dalam beberapa tahun, mereka akan langsung menjual saham mereka tersebut. Terus terang, saya juga paham hal ini.

Saya gunakan contoh saham BBRI lagi. Bila kita beli BBRI di tahun 2004, di saat harga mulai turun di 2007 – 2008, kalau kita jual, kita sudah untung 230%. Kalau kita tahan dan jual di awal 2020, kita bisa untung 4,600%.

Tetapi, memang bisa ada loss of opportunity cost di situ kalau misal di tahun 2008 kita lihat saham Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) dan kita tidak bisa investasi di saham ini karena kita memutuskan untuk tidak menjual BBRI.

Kenapa? Karena bila kita memutuskan untuk menjual BBRI di akhir 2008 dan kita pindahkan investasi kita ke CPIN, di awal 2020 kita bisa menghasilkan untung 9,200%! Di situlah letak cost of opportunity yang hilang.

Gambar grafik harga saham CPIN dari 2008 - 2020 yang naik 9,200%.
Gambar 5. CPIN dari 2008 – 2020 naik 9,200%!

Kalau saya pribadi tidak begitu peduli dengan konsep loss of opportunity cost ini. Misal memang saya tidak lihat saham yang fundamentalnya lebih bagus, ya sudah. Memang tidak tahu, kan?

Tetapi, kalau saya lihat saham dengan fundamental bagus dan saya familiar sekali dengan industri/sektornya, tapi tetap saya cuekin saja meski saya ada uang/modal ekstra yang bisa diinvestasikan, itu lain soal. Mungkin saya akan menyesal.

  • Butuh kesabaran ekstra

Ini jelas. Membeli saham dengan fundamental bagus yang sedang murah bisa seperti pernikahan. Harus kuat dan bertahan terus, di saat susah maupun senang…hehehe, selama mungkin.

Karena meski kita tidak cek harga/grafik saham setiap hari, tetap saja bisa terlihat/terdengar di TV, berita online, di media sosial, dari teman kantor, dan lain-lain. Bila harga sedang naik mungkin kita bisa senang. Kalau tiba-tiba terlihat harganya sedang turun tajam, mungkin kita akan kepikiran terus. Tapi meski demikian, tetap kita harus sabar.

Nah, apalagi, di saat krisis 1998, 2008, dan di masa pandemi 2020 seperti sekarang ini. Mau tidak mau pasti kita akan mendengar/membaca berita mengenai pasar saham setiap harinya.

Bisa, kah, kita sabar menunggu selama 5/10/15 tahun? Hanya kita masing-masing yang bisa menjawab.

Investasi saham jangka pendek

Nah, kalau ini, saya mendefinisikan “investasi saham jangka pendek” di sini adalah sekitar 1 – 3 tahun saja. Banyak, kah, yang sukses dengan investasi saham jangka pendek?

Saya kasih contoh satu manusia legendaris: Benjamin Graham. Beliau merupakan dosennya Warren Buffett, penulis buku value investing paling terkenal (judulnya The Intelligent Investor), dan sering disebut sebagai “bapak pencetus dari metode value investing”.

Beliau pernah bilang:

“The investor should have a definite selling policy for all his common stock commitments, corresponding to his buying techniques. Typically, he should set a reasonable profit objective on each purchase–say 50 to 100 per cent–and a maximum holding period for this objective to be realized–say, two to three years. Purchases not realizing the gain objective at the end of the holding period should be sold out at the market.”

(“Si investor harus punya aturan penjualan yang pasti untuk semua saham-saham dia, yang berhubungan dengan teknik pembelian dia. Biasanya, dia harus punya target profit yang masuk akal dalam setiap pembelian – misal 50 sampai 100 persen – dan maksimal jangka waktu untuk target profit ini direalisasikan, misal 2 sampai 3 tahun. Semua investasi saham yang tidak berhasil mencapai target profit setelah jangka waktu maksimal harus dijual”.)

Oke, dengan target jangka waktu yang pendek seperti itu, apakah performa investasi saham beliau bagus? Di sini disebutkan, perusahaan investasi beliau (sebelum jadi dosen, beliau merupakan seorang investor di Wall Street) di tahun 1936 – 1956 mendapatkan imbal hasil rata-rata 20% per tahunnya, selama 20 tahun berturut-turut. Bandingkan dengan imbal hasil rata-rata pasar saat itu di angka 12% per tahunnya.

Saya rasa kita juga bisa sukses bila melakukan investasi saham jangka pendek seperti Benjamin Graham. Tapi, apa untung dan ruginya? Yah, sebenarnya hanya kebalikan dari investasi saham jangka panjang saja kurang lebih. Mari kita bahas.

Pros

  • Memperkecil adanya “loss of opportunity cost

Seperti saya bilang di atas, anggap kita pindahkan investasi kita dari BBRI ke CPIN, dari 2008 – 2020, kita bisa untung 9,200%! 2x lipat lebih banyak dibanding kalau kita tahan saham kita di BBRI saja. (Itupun BBRI kalau kita beli di 2004).

Tapi, seperti saya bilang juga di atas, loss of opportunity cost ini hanya ada kalau kita tahu ada saham lain dengan fundamental yang lebih bagus dan kita ada uang/modal ekstra, tapi kita diamkan saja. Kalau kita tidak tahu atau tidak ada uang/modal ekstra untuk diinvestasikan, apa masih disebut loss of opportunity?

  • Kesabaran yang dibutuhkan tidak sebesar kesabaran dalam investasi saham jangka panjang

Ini jelas. Menunggu 1 – 3 tahun tidak seperti menunggu 3 – 10 tahun atau lebih.

Tetapi, tahu dari mana kita target profit yang kita incar saat melakukan riset terhadap suatu perusahaan pertama kalinya bisa tercapai dalam 1 – 3 tahun?

Karena pada dasarnya, dalam investasi jangka panjang, “time is your friend” (waktu adalah temanmu).

Cons

  • Mungkin harus “timing the market

Kenapa? Karena akan susah kita prediksi harga saham/pasar akan kemana dalam 1 – 3 tahun ke depan. Sehingga kemungkinan kita akan mencoba membeli saat harga sudah “mentok” di bawah.

Dari mana kita tahunya harga sudah paling bawah? Hanya bisa menebak-nebak.

  • Potensi keuntungan lebih sedikit dengan tenaga lebih besar

Seperti saya bilang di atas, dalam 3 tahun memang saham BBRI naik 230%, dan ini sudah fantastis (sekitar 77% kenaikan per tahun).

Tetapi dalam 16 tahun, BBRI naik 4,600%. Atau 287% per tahun! Lebih banyak mana?

Selain dari itu, dalam 3 tahun itu pasti hampir tiap hari kita lihat harga sahamnya. Kenapa? Karena, kan, target kita 1 – 3 tahun, jadi pasti kita pantau terus, bukan?

Begitu kita jual, kita akan cari saham yang lain dan kita akan lakukan hal yang sama. Berarti kita harus “kerja” lebih banyak.

  • Mungkin performa investasi kita bisanya hanya mirip-mirip dengan investor institusi

Kenapa? Karena, ya, seperti ini juga cara kerja investor institusi. Bila ada saham-saham yang dikeluarkan dari indeks LQ45 dan Kompas100, ya, mereka harus keluarkan juga dari kepemilikan mereka. Jadi kepemilikan mereka terhadap suatu saham sering hanya sebentar juga.

Tetapi memang kita sebagai investor ritel tetapi lebih punya banyak pilihan saham dalam berinvestasi sehingga kemungkinan performa kita mengalahkan para investor saham institusi ini akan tetap lebih besar.

  • Total pajak yang dibayar lebih banyak

Seperti yang sudah saya ilustrasikan di atas, bila cara investasinya keluar-masuk saham baru setiap tahunnya kita bisa membayar pajak yang jauh lebih banyak daripada kalau kita hanya tahan satu saham bagus dan jual setelah 5/10/15 tahun.

Kesimpulan

Jadi, kita investasi saham jangka panjang atau jangka pendek, nih? Jawabannya, tergantung masing-masing dari kita.

Tidak ada cara investasi yang paling benar ataupun yang salah. Asalkan target utama kita adalah mengalahkan IHSG (achieving alpha). Bila ini kita sudah berhasil, ya, kita sudah sukses dalam berinvestasi. (“alpha” dalam dunia finansial berarti kita telah mengalahkan pasar, dalam hal ini IHSG. Ini target kesuksesan setiap investor/trader).

Kalau saya pribadi? Saya punya target profit saya sendiri dari awal saya melakukan riset untuk suatu perusahaan. Kalau target saya sudah tercapai, apakah itu dalam 1/3/5/10/15 tahun, maka kemungkinan besar saya akan menjual kepemilikan saya di saham tersebut.

Tetapi itu, pun, akan tergantung pada situasi saya pribadi ataupun kinerja bisnis perusahaan yang sahamnya saya miliki tersebut.

Apapun pilihannya, keduanya tetap menggunakan metode value investing.

Salam investasi,

ETS

Stoxets.com

Disclaimer/Peringatan: Kami bukan perencana keuangan, pialang saham, maupun penasihat investasi. Stoxets.com murni berfungsi sebagai blog untuk berbagi pengalaman dan pendapat kami dalam berinvestasi di berbagai jenis aset (terutama pasar saham), tidak menyarankan siapapun untuk membeli/menjual suatu jenis aset maupun saham tertentu, dan tidak akan bertanggung jawab atas siapapun yang mengalami kerugian, maupun keuntungan, uang dalam berinvestasi dimanapun setelah membaca blog ini. Investasi apapun beresiko. Lakukan riset kalian sendiri. Uang kalian, tanggung jawab kalian.

Support This Blog

Kalau kalian ingin mendukung / support blog saya, kalian bisa klik iklan-iklan yang ada di blog saya ini…

atau kalian juga bisa membeli buku-buku rekomendasi saya di bawah ini melalui tautan / link afiliasi yang saya berikan. Semua buku yang saya rekomendasikan akan saya review terlebih dahulu, kalau tidak bagus tidak akan saya rekomendasikan untuk dibeli (meski tetap akan saya review). Program afiliasi ini tidak menjadikan harga buku lebih mahal, saya hanya mendapatkan komisi dari si penjualnya saja:

Buku untuk investor saham pemula

Who Wants to be a Smiling Investor – Lukas Setia Atmaja & Thomdean: Gramedia / Tokopedia

Value Investing: Beat the Market in Five Minutes – Teguh Hidayat: Gramedia / Tokopedia

Cara Mudah Memahami Laporan Keuangan – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Learn to Earn – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Buku untuk investor saham yang lebih berpengalaman

Warren Buffett and the Interpretation of Financial Statements – Mary Buffett & David Clark: Tokopedia

One Up on Wall Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Beating the Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. I – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. II – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Buku untuk investor saham tingkat jendral bintang lima & pendekar silat sabuk merah

The Intelligent Investor – Benjamin Graham: Gramedia / Tokopedia

Dan masih banyak lagi!

Tolong bagikan artikel ini:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error

Enjoying this blog? Tolong bagikan, ya! :)