Kasus Jouska: Tanggung Jawab Setiap Investor

Halo, saya ETS, pemilik dari blog Stoxets.com dan kali ini saya ingin membahas kasus Jouska dan tanggung jawab masing-masing investor.

Apa itu? Itu adalah yang sering saya bilang di posts terdahulu, yaitu: melakukan riset kalian sendiri dalam berinvestasi. Dengan mengambil kasus ini sebagai contoh.

Kenapa saya baru bahas di bulan September 2020 ini? Saya ingin mendapatkan semua fakta-faktanya sebelum membahas tentang kasus yang cukup sensitif ini.

Tetapi, sebelum kita lanjut, saya mau mengulang apa yang saya sudah bilang dari awal saya memulai blog ini mengenai cara saya menulis angka menggunakan sistem US/UK, bukan Belanda/Indonesia. Contoh: 1 juta saya tulis 1,000,000; bukan 1.000.000. Untuk desimal saya tulis 1.5; bukan 1,5. Jangan bingung, ya.

Masih kita bahas, ya.

Kasus Jouska: the background

Seperti banyak orang tahu, Jouska adalah perusahaan penasihat keuangan paling terkenal di Indonesia karena kepiawaiannya dalam menggunakan media sosial untuk mengedukasi rakyat Indonesia supaya bisa melek finansial.

Kalau usaha mereka stop di pemberian saran untuk berinvestasi dengan media sosial, atau mungkin sebagai penasihat keuangan dengan izin jelas, mungkin mereka tidak akan berurusan dengan hukum dan ratusan nasabahnya tidak akan mengalami kerugian.

Sayangnya, mereka juga mengelola dana nasabah tanpa memiliki izin Manajer Investasi dari OJK. Setelah kasus ini keluar, ternyata saran investasi yang mereka berikan ke nasabah mereka juga tolol, seolah-olah mereka semua kuliah di tempat sampah saking busuknya saran yang mereka berikan. Mereka pernah menyarankan salah satu nasabahnya untuk jual rumah saat saham yang mereka sarankan turun. Bodoh sekali, kan?

Awal tahun lalu, istri saya pernah bilang: “Kita ke Jouska, yuk. Kita bayar mereka sejumlah sekian-sekian untuk dikasih tahu kita harus investasi dimana saja”. Saya langsung bilang: “Gak ah, aku gak suka orang sotoy. Aku aja yang urus investasi”.

Kenapa? Dari awal saya selalu merasa skeptis dengan Jouska. Waktu kuliah dulu saya pernah baca buku judulnya “MBA – Manajemen By Amplop”, buku karangan Aidil Akbar Madjid, dan sejak itu menurut saya standar penasihat keuangan di Indonesia itu paling tidak harus seperti dia. Lihat sertifikasinya banyak sekali. Kenapa? Karena memang di industrinya ada tuntutan demikian.

Bandingkan dengan para pemimpin Jouska. Kalau industri start-up fintech (financial technology/teknologi finansial) yang memang sering melakukan gebrakan teknologi baru saja harus ikut aturan OJK, kenapa mereka harus spesial? Sekarang perasaan saya terbukti.

Inilah pentingnya kita sendiri juga tahu mengenai dunia investasi, terutama saham. Karena saham merupakan salah satu bentuk aset tertua di dunia. Meski mungkin tidak setua obligasi, kali ya. Atau emas, kah, yang paling tua? Entah. Yang jelas, saham salah satu yang paling penting dan, dalam jangka panjang, yang paling menguntungkan. Ini juga kenapa saya selalu bilang: “uang kalian, tanggung jawab kalian”.

Kasus Jouska: saham LUCK

Waktu awal-awal saya baca kasus Jouska ini, sebenarnya, saya penasaran juga dengan keputusan Jouska merekomendasikan PT Sentral Mitra Informatika Tbk. (LUCK) untuk diinvestasikan ke banyak kliennya.

Lalu saya baca juga ada tuduhan insider trading (bisa diartikan sebagai “orang dalam”, sebuah perbuatan ilegal di pasar saham seluruh dunia) terhadap kasus Jouska ini, dan itu semua masuk akal.

Tapi, misal saya ingin mengesampingkan tuduhan tersebut sebentar, saya ingin melihat apakah LUCK sebenarnya pantas direkomendasikan ke banyak orang.

Apalagi, CEO Jouska dengan tololnya membandingkan LUCK dengan Amazon saat IPO (Initial Public Offering/Penawaran Saham Perdana) di Amerika.

Nah, jadi di bawah ini saya bedah sedikit perusahaan LUCK ini dengan data-data yang diambil dari Laporan Kuangan emiten LUCK 2019 dan 2018 (bila ingat di post saya sebelumnya, ini merupakan tahap Review dalam cara saya memilih saham):

Industri

LUCK masuk ke industri Computer and Services. Sebuah industri yang cukup kompetitif.

Tapi, apakah pantas disamakan dengan Amazon? Yang satu perusahaan retail e-commerce yang targetnya B2C (Business to Consumer/langsung ke konsumen) yang merevolusi belanja online tanpa saingan berarti di bisnis yang sama saat IPO.

Sedangkan, yang satunya lagi “hanya” perusahaan IT Solution Provider (penyedia jasa teknologi informasi) yang saingan dengan Astragraphia (berdiri tahun 1971, sekarang ada di 500 kota dan kabupaten di Indonesia), Metrodata (berdiri tahun 1983, ada di 150 kota seluruh Indonesia), dan Multipolar (berdiri tahun 1975, perusahaan IT pertama di Indonesia yang IPO).

Sepertinya, hanya orang tidak tahu apa-apa yang membandingkan LUCK dengan Amazon. Bahaya kalau kita berinvestasi di perusahaan yang kita tidak paham.

NPM

Net Profit Margin; persentase laba dibanding pendapatan usaha, NPM = Laba Bersih Tahun Berjalan (Net Profit for the Year) / Pendapatan Usaha (Revenues).

2019: 5.24%

2018: 2.22%

Kecil, ya? Tapi tetap ada laba, sih. Memang industri ini kompetitif.

ROE

Return on Equity; persentase laba dibanding modal kerja, ROE = Laba Bersih Tahun Berjalan (Net Profit for the Year) / Total Ekuitas (Total Equity).

2019: 5.22%

2018: 1.80%

Di akhir 2019, Bank Mega memberikan bunga deposito 7% untuk tenor 12 bulan. Jadi kalau semua direksi LUCK di akhir 2018 membubarkan perusahaan, semua aset di jual, dan modalnya ditaruh  di deposito Bank Mega tenor 12 bulan. Maka, di akhir 2019, mereka semua akan memiliki yang lebih banyak daripada bisnis yang mereka lakukan sekarang.

Buang-buang tenaga saja berbisnis tapi masih kalah sama bunga deposito.

DER

Debt to Equity Ratio; rasio hutang/liabilitas dibanding modal, DER = Total Liabilitas/Hutang (Total Liabilities) / Total Ekuitas (Total Equities).

2019: 0.395

2018: 0.167

Ini bagus, hutang mereka kecil sekali. Keuangannya sehat. Bahkan, Cash Current Ratio (uang kas dan setara kas dibanding hutang 1 tahun perusahaan) ada di 2.38x. Artinya kas dan deposito perusahaan saja ini bisa nutup seluruh hutang perusahaan yang akan jatuh tempo dalam 1 tahun ke depan dan masih ada sisanya lagi.

Ini belum termasuk aset-aset seluruh perusahaan yang jauh lebih besar dari seluruh hutang-hutangnya. Aman, lah, perusahaan ini.

Memang cash flow (arus kas) perusahaan kurang bagus di tahun 2019 dan 2018, tapi 2017 bagus kok. Ada Rp 5M kas “nganggur” yang bisa jadi dividen.

Mungkin tahun 2019 dan 2018 mereka harus beli aset tetap baru untuk mengganti aset tetap yang sudah lama. Maklum, industri IT.

EPS

Earnings per Share; laba per lembar saham, EPS = Laba Bersih Tahun Berjalan (Net Profit for the Year) / Jumlah Saham Beredar (Total Outstanding Shares).

EPS di akhir 2019: 9.781

BVPS

Book Value per Share; nilai modal per lembar saham, BVPS = Total Ekuitas (Total Equities) / Jumlah Saham Beredar (Total Outstanding Shares).

BVPS di akhir 2019: 187.35

PER & PBV

PER (Price Earnings Ratio; harga saham dibanding laba per lembar, PER = Harga Saham (Share Price) / EPS.

PBV (Price to Book Value; harga saham dibanding nilai modal per lembarnya, PBV = Harga Saham (Share Price) / BVPS.

PER di akhir 2019: 32.92x

PBV di akhir 2019: 1.72x

Apa PER dan PBV LUCK tergolong tinggi? Kalau dibanding rata-rata PER dan PBV di industrinya, sih, valuasi dasar LUCK tergolong murah.

Tetapi, nilai rata-rata industrinya kurang tepat dipakai sebagai pembanding karena banyak perusahaan-perusahaan di dalamnya yang “jelek” secara finansial, jadi merusak angka rata-rata tersebut (rata-rata PER dan PBV industri: 529x dan 2.08x, angka PER seperti itu tidak masuk akal).

Nah, kalau dibanding perusahaan saingan bagaimana? Multipolar PER-nya 7.58x dan PBV-nya 1x, perusahaan yang jauh lebih besar tapi valuasinya lebih murah. Kita perlu riset lebih banyak untuk membuat keputusan, tapi yang jelas kalau dibanding Multipolar, sih, LUCK tidak murah.

Kesimpulan saham LUCK

Balik lagi, apakah LUCK ini perusahaan bagus? Yah, oke aja sih, nggak bagus juga, saya sih tidak akan investasi disini.

Pantas, kah, untuk direkomendasikan 80-90% dana investasi  ditaruh disini? Sama sekali tidak! Hanya orang tolol yang menyarankan demikian.

Mereka atas dasar apa menyarankan demikian? Analisa teknikal? Investasi jangka panjang kok pakai analisa teknikal? Analisa fundamental? Kok menyarankan perusahaan dengan ROE hanya 5.22%?

Ada orang punya modal buat investasi, tapi bawa keuntungan hanya 5%. Dipotong inflasi sudah habis. Kok mau bisnis begini?

Apapun alasan mereka di awal itu, bagi yang uangnya “nyangkut” disini, saran saya ditunggu saja. Keuangan perusahaan ini cukup sehat, meski performa bisinisnya biasa-biasa saja. Jadi, seharunya sahamnya akan naik lagi. Berapa lama naiknya? Saya tidak tahu. Apakah akan kembali ke level tertingginya? Saya tidak tahu.

Pentingnya melakukan riset sendiri

Karena alasan-alasan di atas, lah, poin saya betapa pentingnya kita melakukan riset sendiri. Tapi kalau tidak ada waktu, investasi di index fund (reksa dana indeks) saja.

Di Indonesia ada 6 reksa dana yang mengikuti gerak indeks (contoh: reksa dana indeks LQ45, si Manajer Investasi akan menyebar semua dana di setiap emiten yang termasuk di dalam indeks LQ45). Tidak perlu mikir.

Yakin dan berdoa saja ekonomi Indonesia akan naik terus, nanti juga indeksnya akan ikut naik, lalu kita tambah kepemilikan kalau NAB (nilai aktiva bersih/nilai unit) lagi turun seperti sekarang.

Dari 2005 – 2020 (padahal ditambah dengan kondisi pasar saham seperti sekarang ini), indeks LQ45 sudah naik 300%! Jadi, 300%/15 tahun = 20% per tahun!

Ada deposito yang kasih 20% per tahun? Potong 5%, lah, untuk rata-rata inflasi Indonesia selama 10 tahun kebelakang, jadinya 15%. Ada deposito yang kasih 15% per tahun?

Warren Buffett saja selalu menyarankan bagi mayoritas orang untuk investasi di index fund. Saya sendiri juga ada investasi di sebuah index fund, yang hanya saya tambah Rp. 200ribu per bulannya. Ini dana tabungan untuk anak saya yang akan saya berikan ke dia untuk apa pun usaha yang dia mau lakukan setelah dia lulus SMA, 16 tahun dari sekarang.

Saya mulai investasi di indeks IDX30 (30 perusahaan terbesar di Indonesia) bulan Juni 2020, dan di awal bulan September 2020 ini investasi saya di sini sudah naik sekitar 6%. Sudah mengalahkan inflasi, tuh.

Nah, Ini bisa jadi salah satu cara kalian bila ingin investasi di saham tetapi tidak ada waktu untuk riset sendiri. Efektif dan simpel.

Terakhir yang mau saya katakan mengenai kasus Jouska ini, ada satu hal yang saya “syukuri”. Yaitu, korban-korbannya rata-rata kaum millennials bukan kaum pensiunan seperti orang tua saya. Jadi waktu mereka masih panjang untuk kembali bekerja keras dan berinvestasi demi “mengembalikan” kerugian yang mereka alami.

Saya yakin sekali mereka akan sukses semuanya dengan mengambil pembelajaran dari kasus Jouska ini.

Salam investasi,

ETS

Stoxets.com

Disclaimer/Peringatan: Kami bukan perencana keuangan, pialang saham, maupun penasihat investasi. Stoxets.com murni berfungsi sebagai blog untuk berbagi pengalaman dan pendapat kami dalam berinvestasi di berbagai jenis aset (terutama pasar saham), tidak menyarankan siapapun untuk membeli/menjual suatu jenis aset maupun saham tertentu, dan tidak akan bertanggung jawab atas siapapun yang mengalami kerugian, maupun keuntungan, uang dalam berinvestasi dimanapun setelah membaca blog ini. Investasi apapun beresiko. Lakukan riset kalian sendiri. Uang kalian, tanggung jawab kalian.

Support This Blog

Kalau kalian ingin mendukung / support blog saya, kalian bisa klik iklan-iklan yang ada di blog saya ini…

atau kalian juga bisa membeli buku-buku rekomendasi saya di bawah ini melalui tautan / link afiliasi yang saya berikan. Semua buku yang saya rekomendasikan akan saya review terlebih dahulu, kalau tidak bagus tidak akan saya rekomendasikan untuk dibeli (meski tetap akan saya review). Program afiliasi ini tidak menjadikan harga buku lebih mahal, saya hanya mendapatkan komisi dari si penjualnya saja:

Buku untuk investor saham pemula

Who Wants to be a Smiling Investor – Lukas Setia Atmaja & Thomdean: Gramedia / Tokopedia

Value Investing: Beat the Market in Five Minutes – Teguh Hidayat: Gramedia / Tokopedia

Cara Mudah Memahami Laporan Keuangan – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Learn to Earn – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Buku untuk investor saham yang lebih berpengalaman

Warren Buffett and the Interpretation of Financial Statements – Mary Buffett & David Clark: Tokopedia

One Up on Wall Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Beating the Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. I – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. II – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Buku untuk investor saham tingkat jendral bintang lima & pendekar silat sabuk merah

The Intelligent Investor – Benjamin Graham: Gramedia / Tokopedia

Dan masih banyak lagi!

Tolong bagikan artikel ini:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error

Enjoying this blog? Tolong bagikan, ya! :)