SCMA: Analisa Fundamental Surya Citra Media

(Update (21 Apr 2022): Karena ada kesalahan dalam analisa saham SCMA ini saya post pertama kali di bulan Januari 2022, maka saya update analisa saham SCMA ini untuk membenarkan kesalahan tersebut dan memperbarui analisa keuangan dari perusahaan ini juga dengan Laporan Keuangan 2021. Saya mohon maaf sebesar-besarnya sebelumnya. Terima kasih atas pengertiannya).

Halo, saya ETS, pemilik dari blog Stoxets.com. Menyambung post yang persis sebelum ini, saat saya membahas analisa fundamental MNCN (PT Media Nusantara Citra Tbk.), kali ini saya melanjutkan dengan membahas analisa fundamental saham salah satu perusahaan saingannya, yaitu SCMA (PT Surya Citra Media Tbk.). Pemilik dari stasiun televisi SCTV dan Indosiar.

Nah, sebelum kita bahas saham SCMA lebih lanjut, saya sebutkan lagi kalau saya akan menganalisa saham ini menggunakan metode analisa value investing saya sendiri, yang saya sebut sebagai SRRI (Screen, Review, Research, and Invest), dimana saya akan menggunakan metode valuasi standar, seperti PER dan PBV, dan metode valuasi yang lebih mendalam, seperti Discounted Cash Flow (DCF).

Lalu saya juga mau menyebutkan bahwa analisa saham ini bukan rekomendasi untuk melakukan apapun. Saya hanya berbagi informasi yang saya dapatkan berdasarkan riset saya sendiri. Bila belum pernah, silahkan baca disclaimer blog ini di sini.

Terakhir, saya juga mau mengulang kalau saya menulis angka menggunakan sistem US/UK, bukan Belanda/Indonesia. Contoh: 1 juta saya tulis 1,000,000; bukan 1.000.000. Untuk desimal saya tulis 1.5; bukan 1,5 dan untuk mata uang saya menggunakan USD / IDR; bukan “Dollar” atau “Rupiah”.

Sekarang, mari kita analisa saham ini!

Analisa saham SCMA

SCMA (PT Surya Citra Media Tbk.) adalah perusahaan media yang memiliki dan mengoperasikan dua stasiun televisi FTA (free-to-air, atau “tidak berbayar”), yaitu: SCTV dan Indosiar.

SCMA adalah anak usaha dari EMTK (PT Elang Mahkota Teknologi Tbk.), perusahaan holding media yang bersaing dengan BMTR (Global Mediacom Tbk.), atau MNC Media, yang akan saya bahas di lain waktu. EMTK sendiri didirikan oleh pak Eddy Kusnadi Sariaatmadja.

SCMA berdiri di tahun 1999 dengan nama PT Cipta Aneka Selaras, di tahun 2001 mereka berganti nama menjadi PT Surya Citra Media. Di tahun 2002, SCMA mengakuisisi 99.99% dari saham stasiun televisi swasta PT Surya Citra Televisi (SCTV), yang sudah berdiri dari tahun 1990, dan menjadi perusahaan publik di tahun yang sama. Tahun 2013, SCMA bergabung (“merger”) dengan PT Indosiar Karya Mandiri Tbk. (IDKM), stasiun televisi swasta yang sudah mengudara dari tahun 1995. Tahun 2019, SCMA mengakuisisi saham PT Vidio Dot Com (Vidio.com) sebesar 99%, PT Kapan Lagi Dot Com Networks (KLY) sebesar 50% plus 1 saham, dan PT Binary Ventura Indonesia (BVI) sebesar 99%. Lalu, di tahun yang sama juga, SCMA membeli saham PT Mediatama Televisi (Nexparabola) sebesar 51%.

Gambar logo acara gosip KISS (“Kisah Seputar Selebritis”) yang sudah ditayangkan Indosiar (stasiun televisi milik SCMA) dari tahun 1996.
Gambar 1. Logo acara gosip KISS (“Kisah Seputar Selebritis”) yang sudah ditayangkan Indosiar (stasiun televisi milik SCMA) dari tahun 1996 (Sumber)

Secara industri, SCMA masuk ke media & entertainment, sama seperti MNCN. Secara kepemilikan, berdasarkan Laporan Tahunan 2020, saham SCMA dibagi seperti berikut: 61.037% dimiliki oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK – akan saya analisa di post berikutnya), 14.402% adalah saham treasuri, 24.479% oleh masyarakat, dan sisanya dibagi antara para anggota dewan komisaris dan direksi SCMA.

Oke, bagaimana dengan komposisi bisnis-bisnis mereka? Mari kita lihat.

Bisnis SCMA

Kalau dari segi pendapatan, dari Laporan Tahunan 2020 (karena yang tahun 2021 belum ada yang untuk setahun penuh) sebenarnya bisnis-bisnis perusahaan ini mencetak uang dari dua sumber:

  • Iklan

SCMA menghasilkan IDR 5.79 Triliun, atau sekitar 93.25%, total pendapatan mereka di tahun 2020 dari sini.

  • Lain-lain (konten, talent, dan digital)

IDR 419 Miliar, sekitar 6.75% dari total pendapatan, didapatkan SCMA dari lini bisnis ini.

(Catatan: total pendapatan SCMA di tahun 2020 tertulis di angka IDR 5.1 Triliun, bukan IDR 6.2 Triliun seperti tertulis di atas, karena ada potongan diskon penjualan yang mereka berikan sebesar IDR 1.1 Triliun.)

Nah, sekarang mari kita bahas hasil dari tahap Research untuk SCMA di bawah ini.

Research – Valuasi PER dan PBV

Saya menggunakan laporan tahunan SCMA dari 2011 – 2021 (yang saya setahunkan). Berikut performa bisnis mereka sekitar 10 tahun ke belakang:

  1. Revenue growth (pertumbuhan pendapatan) rata-rata: 12% per tahun! Dengan angka median di 9.8% per tahun!
  2. Net profit growth (pertumbuhan laba/profit) rata-rata: 11.86% per tahun. Secara median, angka ini ada di 10%.
  3. Net profit margin (marjin laba dibanding pendapatan) rata-rata: 31.2% per tahun! Tinggi sekali ini!
  4. Free cash flow (FCF, sisa uang tunai dari aktifitas operasi dikurangi belanja aset) kumulatif positif dengan rata-rata IDR 1.1 Triliun per tahun. Total FCF selama 10 tahun terakhir di IDR 12.45 Triliun!
  5. Owner’s earnings ratio (rasio belanja aset dibagi uang tunai dari aktifitas operasi) rata-rata: 0.13x. Angka yang sangat bagus!
  6. Efficiency ratio (rasio seberapa efisien biaya setiap pendapatan perusahaan) rata-rata: stabil dengan rata-rata 0.59x per tahun. Sangat sehat.
  7. Return on equity (imbal hasil dari modal) rata-rata: 36.43% per tahun. Sangat bagus!
  8. Debt equity ratio (ratio hutang dibanding modal) rata-rata: 0.38x per tahun! Sangat sehat.
  9. Current ratio (rasio aset lancar dibanding kewajiban lancar) rata-rata: 3.4x! Sangat likuid!

  10. Price earnings ratio (PER, rasio harga saham dibanding laba) rata-rata: 26.2x. Saat saya melakukan update Research ini di bulan April 2022, PER SCMA ada di 14.48x. 81% lebih rendah dari PER historisnya!

Saat ini PER rata-rata industrinya ada di 17x, jadi PER SCMA 17% lebih rendah dari PER industrinya! Murah!

  1. Price to book value (PBV, rasio harga saham dibanding nilai modal) rata-rata: 9.68x. PBV mereka saat post ini saya tulis ada di 2.6x. 273% lebih rendah dari PBV rata-rata historisnya!

    PBV rata-rata industrinya ada di 5.18x. 99% lebih rendah dari PBV rata-rata industrinya! Menarik!

Invest di saham SCMA?

Secara valuasi PER dan PBV, SCMA amat sangat menarik. Secara performa bisnis juga bagus, NPM dan ROE yang sangat tinggi dan DER yang rendah menunjukan manajemen yang kompeten dan juga SCMA sebagai perusahaan yang menguasai industrinya. (Hal yang sama juga saya bilang mengenai MNCN di post yang lalu. Ini terlihat sepertinya terjadi semacam duopoli di industri pertelevisian Indonesia yang membuat mereka memiliki performa bisnis bagus mesti berada di industri yang persaingannya sengit. Yah, meski faktanya masih ada beberapa grup media besar lain, sih – seperti Trans Media, Visi Media Asia, dll.)

Seperti biasa, saya selalu mencoba untuk menggali informasi lebih dalam lagi saat saya melakukan Research, untuk melihat siapa tahu masih ada “harta karun tersembunyi” di tiap perusahaan yang saya analisa.

Dan untuk SCMA, hal-hal ini yang saya dapat:

  1. Saat post ini ditulis, total kapitalisasi pasar SCMA ada di sekitar IDR 19.4 Triliun. Total aset mereka saat ini ada di IDR 9.9 Triliun. 51% dari kapitalisasi pasarnya. Menarik.
  2. Aset lancar SCMA ada di IDR 6.6 Triliun. Sekitar 34% dari kapitalisasi pasarnya.
  3. Return on Assets (perbandingan laba dengan aset total) mereka rata-rata di 26.3%. Sangat bagus!
  4. Rata-rata ROIC (“Return on Invested Capital”; atau “Imbal Hasil dari Uang Kas yang Diinvestasikan” – lebih jelasnya silahkan baca post saya mengenai ROIC) SCMA adalah 35.16%!

Sekarang, mari lihat analisa DCF untuk saham ini.

Research – Valuasi DCF

Ini hasil analisa DCF (Discounted Cash Flow) untuk saham ini:

Gambar hasil valuasi DCF untuk saham SCMA. Harga wajar saham ini di IDR 379 per lembar. 44% lebih murah dari harga saat post ini ditulis di IDR 262 per lembar! Dikurangi hutang, memberikan fair value di IDR 346 per lembar, atau masih ada 32% margin of safety! Menarik!
Gambar 2. Hasil valuasi DCF untuk saham SCMA
  1. Saya menggunakan nilai performa bisnis aktual (yang sudah terjadi) untuk tahun 2017 – 2021 dan nilai ekspektasi performa bisnis untuk tahun 2022 – 2024.
  2. Untuk FCF/Net Profit – Expected, saya pakai 90%. Yaitu, angka FCF/Net Profit rata-rata selama 11 tahun kebelakang, dari tahun 2011 – 2021.
  3. Untuk discount factor (angka persentase yang kita pakai untuk kalkulasi berapa nilai FCF yang kita ekspektasikan/prediksikan untuk masa depan kalau nilai itu kita tarik ke hari ini), saya pakai 7.5%. Itu saya pakai angka Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor 10 tahun dan saya tambah 0.5%.
  4. Untuk perpetual growth (angka persentase yang kita pakai untuk kalkulasi berapa nilai pertumbuhan FCF perusahaan selama-lamanya), saya pakai 2% saja. Angka yang lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.

Intinya, dengan amat sangat saya permudah (oversimplify), adalah nilai kumulatif FCF milik SCMA dari akhir 2022 (awal prediksi dimulai) sampai selamanya, kalau kita tarik ke hari ini akan bernilai sebesar IDR 28 Triliun. Selamanya itu sampai kapan? Entah. Bisa 10 tahun, 20 tahun, atau bahkan 30 tahun ke depan.

Nilai IDR 28 Triliun itu, kalau kita bagi dengan jumlah sahamnya yang beredar saat ini di 73.97 miliar lembar, akan memberikan kita nilai intrinsik per lembarnya di IDR 379.

Saat update research atas saham ini saya lakukan di bulan April 2022, harga per lembar sahamnya adalah IDR 262. 44.7% lebih murah dari nilai intrinsiknya!

Kalau dikurangi hutang-hurangnya bagaimana? Nilai intrinsik per lembarnya ada di IDR 346, atau 32% lebih murah dari nilai intrinsiknya! Cukup menarik margin of safety di sini!

Kesimpulan

Oke, invest di SCMA, kah, kita? Jawabannya, ya! Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah:

“Lebih baik invest di MNCN atau SCMA, nih??”

Dua-duanya sedang dijual di bawah nilai intrinsiknya, tapi mari kita lihat mana yang lebih bagus (yang saya garis bawahi lebih bagus):

  1. Revenue growth rata-rata
    MNCN: 5.11%
    SCMA: 12%
  2. Net profit growth rata-rata
    MNCN: 13.23% (mediannya 5.7%)
    SCMA: 11.86% (mediannya 10%)
  3. NPM rata-rata
    MNCN: 24.36%
    SCMA: 31.17%
  4. Owner’s earnings ratio rata-rata
    MNCN: 0.57x
    SCMA: 0.13x
  5. ROE rata-rata
    MNCN: 17.13%
    SCMA: 36.43%
  6. ROA rata-rata
    MNCN: 12.6%
    SCMA: 26.33%
  7. Valuasi PER
    MNCN: 227% lebih rendah dari PER rata-rata industrinya
    SCMA: 17% lebih rendah dari PER rata-rata industrinya
  8. Valuasi PBV
    MNCN: 383% lebih rendah dari PBV rata-rata industrinya
    SCMA: 99% lebih rendah dari PBV rata-rata industrinya
  9. Valuasi DCF minus total liabilitas
    MNCN: 4.2% margin of safety.
    SCMA: 44.7% margin of safety.

Bisa dilihat, hampir semua kriteria performa bisnis SCMA lebih unggul dari MNCN, jadi wajar kalau harga saham SCMA dihargai lebih mahal. Tapi tidak banyak, kok, secara DCF saham SCMA masih jauh lebih murah malahan. Apalagi dengan rata-rata pembayaran dividen SCMA sebesar IDR 19.65 per lembar, dengan harga saham SCMA saat ini, itu yield (“imbal hasil”) sebesar 7.5%! (Dibandingkan dengan 3.54% yield dividen MNCN di harga sahamnya saat ini).

Karena itu, saya lebih memilih untuk membeli saham SCMA (saya harus kumpulkan dulu dananya, nih…hehehe).

Oke! Untuk sekarang, mungkin ini dulu yang bisa saya bahas mengenai SCMA. Jangan lupa lakukan riset kalian sendiri, ya, sebelum berinvestasi. Bila ada pertanyaan, silahkan tulis komentar di bawah atau silahkan hubungi saya di sini.

Juga, kalau post ini membantu dalam perjalanan investasi, atau menghibur, kalian, saya hanya ingin memberi tahu kalau iklan yang kalian lihat di blog ini akan membantu saya dalam terus menjalankan blog saya ini. Bila ada yang menarik dan kalian klik, saya berterima-kasih sebelumnya.

Salam investasi,

ETS

Stoxets.com

Disclaimer/Peringatan:

Kami bukan perencana keuangan, pialang saham, maupun penasihat investasi. Stoxets.com murni berfungsi sebagai blog untuk berbagi pengalaman dan pendapat kami dalam berinvestasi di berbagai jenis aset (terutama pasar saham), tidak menyarankan siapapun untuk membeli/menjual suatu jenis aset maupun saham tertentu, dan tidak akan bertanggung jawab atas siapapun yang mengalami kerugian, maupun keuntungan, uang dalam berinvestasi dimanapun setelah membaca blog ini. Investasi apapun beresiko. Lakukan riset kalian sendiri. Uang kalian, tanggung jawab kalian.

Support This Blog

Kalau kalian ingin mendukung / support blog saya, kalian bisa klik iklan-iklan yang ada di blog saya ini…

atau kalian juga bisa membeli buku-buku rekomendasi saya di bawah ini melalui tautan / link afiliasi yang saya berikan. Semua buku yang saya rekomendasikan akan saya review terlebih dahulu, kalau tidak bagus tidak akan saya rekomendasikan untuk dibeli (meski tetap akan saya review). Program afiliasi ini tidak menjadikan harga buku lebih mahal, saya hanya mendapatkan komisi dari si penjualnya saja:

Buku untuk investor saham pemula

Who Wants to be a Smiling Investor – Lukas Setia Atmaja & Thomdean: Gramedia / Tokopedia

Value Investing: Beat the Market in Five Minutes – Teguh Hidayat: Gramedia / Tokopedia

Cara Mudah Memahami Laporan Keuangan – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Learn to Earn – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Buku untuk investor saham yang lebih berpengalaman

Warren Buffett and the Interpretation of Financial Statements – Mary Buffett & David Clark: Tokopedia

One Up on Wall Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Beating the Street – Peter Lynch & John Rothchild: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. I – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Cara Simpel Berinvestasi di Pasar Modal vol. II – Joeliardi Sunendar: Tokopedia

Buku untuk investor saham tingkat jendral bintang lima & pendekar silat sabuk merah

The Intelligent Investor – Benjamin Graham: Gramedia / Tokopedia

Dan masih banyak lagi!

Tolong bagikan artikel ini:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error

Enjoying this blog? Tolong bagikan, ya! :)